JAKARTA - Di tengah tren gaya hidup aktif dan maraknya fasilitas olahraga baru di berbagai kota besar, muncul kembali perdebatan lama: apakah aktivitas olahraga yang dilakukan masyarakat secara mandiri di fasilitas umum atau privat layak dikenakan pajak hiburan? Pertanyaan ini kembali mencuat terutama setelah fasilitas olahraga padel—yang kini sedang digandrungi—ikut masuk dalam daftar objek pajak hiburan.
Padel, olahraga raket yang memadukan unsur tenis dan squash, tengah naik daun di kalangan anak muda perkotaan. Lapangan padel menjamur di berbagai kota besar, menawarkan pengalaman baru berolahraga dalam ruang terbatas, namun tetap kompetitif dan menyenangkan. Namun, ketenaran ini juga membuat fasilitasnya dilirik sebagai objek pajak hiburan.
Masalahnya, padel tidak sendirian. Dalam praktiknya, sejumlah olahraga populer lain juga sudah lama masuk dalam daftar fasilitas yang dikenakan pajak hiburan, termasuk futsal, bulu tangkis, squash, bahkan lari dan panahan.
Olahraga atau Hiburan? Perspektif Regulasi
Konsep bahwa olahraga bisa dianggap hiburan mungkin terdengar janggal. Namun dari kacamata hukum perpajakan, definisinya memang demikian. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, segala bentuk tontonan, permainan, atau aktivitas yang dinikmati publik dengan dipungut biaya masuk dalam objek pajak hiburan.
Hal ini diperjelas lagi dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa fasilitas olahraga seperti renang, tenis, squash, dan futsal termasuk dalam cakupan objek pajak hiburan.
Alasannya sederhana: karena aktivitas ini menyediakan jasa persewaan ruang dan/atau alat yang dikenakan biaya. Dengan kata lain, bukan kegiatan olahraganya yang dikenai pajak, tetapi layanan komersial dari fasilitas tempat olahraga itu dilakukan.
Akibatnya, seluruh penyelenggara layanan seperti penyewaan lapangan futsal, pusat kebugaran, hingga studio yoga dan pilates dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10 persen.
Daftar Fasilitas Olahraga yang Terkena Pajak Hiburan
Untuk memperjelas cakupan pajak ini, keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah DKI Jakarta telah mengatur secara eksplisit jenis olahraga yang termasuk objek pajak hiburan. Berikut adalah daftar lengkapnya:
Tenis
Futsal, sepak bola, mini soccer
Bulu tangkis
Basket
Voli
Tenis meja
Panahan
Menembak
Squash
Bisbol/Sofbol
Bowling
Biliar
Berkuda
Ice skating
Panjat tebing
Atletik/lari
Pusat kebugaran (termasuk yoga, pilates, dan zumba)
Kolam renang
Sasana tinju/bela diri
Jetski
Padel
Dari daftar tersebut, tampak bahwa hampir semua olahraga populer masuk dalam daftar objek pajak. Namun satu olahraga mencolok yang tidak termasuk di dalamnya adalah golf.
Mengapa Golf Dikecualikan?
Tidak sedikit publik yang mempertanyakan mengapa golf tidak masuk dalam daftar objek pajak hiburan. Padahal, dari sisi biaya maupun eksklusivitas, olahraga ini kerap diasosiasikan dengan kalangan atas.
Ternyata, golf memiliki status hukum yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2022, fasilitas dan layanan golf diklasifikasikan sebagai jasa komersial, bukan bentuk hiburan publik. Artinya, golf dianggap sebagai kegiatan bisnis tertutup yang hanya dinikmati oleh anggota atau pelanggan tertentu, dan bukan untuk konsumsi umum.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 52/PUU-IX/2011 juga menyatakan bahwa golf tidak dapat digolongkan sebagai hiburan. Oleh karena itu, fasilitas golf tidak dikenakan PBJT alias pajak hiburan, melainkan masuk dalam skema Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti layanan komersial lainnya.
Dampak Ekonomi dan Sosial dari Pajak Hiburan pada Olahraga
Kebijakan ini memunculkan perdebatan luas. Para pelaku industri olahraga dan masyarakat umum mempertanyakan logika di balik klasifikasi yang tidak seragam ini. Terutama karena pajak hiburan berpotensi menaikkan harga sewa fasilitas olahraga yang pada akhirnya membebani konsumen.
Sebagian pengelola pusat kebugaran atau lapangan olahraga bahkan menyebut bahwa kebijakan ini bisa berdampak negatif terhadap upaya mendorong gaya hidup sehat. Ketika harga menyewa lapangan menjadi lebih mahal karena beban pajak, maka sebagian masyarakat mungkin akan berpaling dari kebiasaan berolahraga secara teratur.
Di sisi lain, pemerintah daerah melihat ini sebagai bagian dari sumber pendapatan yang sah, mengingat layanan-layanan olahraga tersebut memang dikenakan biaya dan bersifat komersial.
Solusi di Tengah Perdebatan
Untuk menjembatani kepentingan publik dan fiskal, sejumlah usulan mulai bermunculan. Misalnya, memberikan pengecualian pajak bagi kegiatan olahraga yang bersifat edukatif, komunitas non-profit, atau skema pelatihan anak-anak dan remaja.
Alternatif lainnya adalah memberikan insentif pajak bagi penyedia fasilitas yang menyelenggarakan program sosial seperti kelas gratis, beasiswa olahraga, atau kerja sama dengan sekolah dan komunitas.
Kebijakan pajak hiburan terhadap olahraga menyoroti batas tipis antara aktivitas rekreasi dan layanan komersial. Ketika masyarakat semakin sadar akan pentingnya hidup sehat, negara tentu perlu memberi ruang yang mendukung kebiasaan baik tersebut.
Meski aspek legal sudah diatur jelas, implementasi dan dampaknya tetap perlu ditinjau kembali agar tidak kontraproduktif terhadap misi pembangunan sumber daya manusia yang sehat dan bugar.