JAKARTA - Ketegangan perdagangan antara Indonesia dan China mencuat seiring dengan protes China terhadap penetapan Harga Batubara Acuan (HBA) Indonesia sebagai standar ekspor. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) angkat bicara mengenai isu yang tengah ramai diperbincangkan ini.
Menurut laporan yang diterima Kontan, dalam beberapa hari terakhir, Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batubara China mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan di negeri tirai bambu tersebut sedang mempertimbangkan untuk membatalkan atau melakukan renegosiasi kontrak jangka panjang yang telah disepakati. Langkah ini dilakukan sebagai respon terhadap pemberlakuan HBA oleh pemerintah Indonesia.
Menanggapi hal ini, Tri Winarno, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) ESDM, mengklarifikasi bahwa pihaknya belum menerima laporan resmi terkait pembatalan atau renegosiasi kontrak dari para eksportir batubara Indonesia kepada importir China. "Kalau berdasarkan laporan resmi, kami belum menerima," ungkap Tri ketika dikonfirmasi pada Selasa 4 Maret 2025.
Keputusan pemerintah untuk menetapkan HBA sebagai standar harga ekspor batubara bukan tanpa alasan. Tri menegaskan, kebijakan ini bertujuan agar pemerintah serta pemegang izin batubara atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat memperoleh harga yang sesuai. "Kebijakan yang diambil sebetulnya sudah diterapkan untuk pengenaan royalti, dan dalam upaya untuk mendapatkan harga yang sesuai. Baik untuk pemerintah maupun pemegang izin," jelasnya.
Risiko dan Tantangan yang Menghadang
Tidak hanya dari pihak pemerintah, kekhawatiran juga datang dari pelaku industri batubara di Indonesia. Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), menyatakan bahwa penolakan dari pihak China ini bisa menimbulkan risiko yang cukup serius bagi kelangsungan kontrak-kontrak batubara Indonesia di kemudian hari. "Tentu risiko pembatalan kontrak pasti ada, karena tidak adanya kepastian harga," ungkap Hendra saat dikonfirmasi pada Senin 3 Maret 2025.
Menurut Hendra, pelaku usaha memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Ia menyarankan agar setidaknya ada masa transisi selama enam bulan sejak aturan HBA ini diterbitkan, untuk memberi ruang penyesuaian bagi semua pihak. "Pemberlakuan secara efektif sebaiknya diberikan waktu 6 bulan untuk masa transisi," tambahnya.
Senada dengan Hendra, Gita Mahyarani, Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Penambang Batubara Indonesia (APBI), juga menilai bahwa implementasi HBA perlu diiringi dengan waktu penyesuaian. Menurutnya, masa transisi yang memadai sangat penting untuk memastikan keberlangsungan hubungan dagang yang stabil antara Indonesia dan China. "Paling tidak perlu waktu 6 bulan (untuk transisi)," kata Gita.
Berimplikasi Luas pada Kebijakan Perdagangan
Penerapan HBA bukan hanya berimbas pada hubungan bilateral Indonesia-China, tetapi juga dapat mempengaruhi keseluruhan kebijakan perdagangan batubara Indonesia. Pemerintah dihadapkan pada tantangan bagaimana menjaga stabilitas harga dalam negeri sementara tetap menarik bagi pasar ekspor yang besar seperti China.
Dalam situasi ini, pemerintah dan pelaku industri perlu bekerja sama untuk menemukan solusi yang berimbang. Dengan dialog konstruktif dan komunikasi yang baik antara pemerintah Indonesia dan mitra dagang di China, diharapkan jalan tengah dapat ditemukan sehingga kebijakan HBA dapat diterapkan tanpa mengorbankan hubungan dagang yang selama ini telah terjalin baik.
Masa Depan Ekspor Batubara Indonesia
Ke depannya, pemerintah terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar tidak menimbulkan dampak negatif yang luas. Sinergi antara pemangku kepentingan diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu eksportir utama batubara di dunia.
Sementara itu, pelaku usaha berharap agar kebijakan ini dapat memberikan keuntungan jangka panjang tanpa harus menimbulkan gejolak di pasar internasional. Dengan momentum yang tepat, kebijakan Harga Batubara Acuan ini dapat menjadi salah satu instrumen penting dalam menjaga keseimbangan pasar dan tetap kompetitif dalam lanskap perdagangan global.