Petani

Petani Kopi Wonosalam Gelar Bancakan

Petani Kopi Wonosalam Gelar Bancakan
Petani Kopi Wonosalam Gelar Bancakan

JAKARTA - Di balik kesibukan panen kopi yang menjadi rutinitas tahunan, para petani di Wonosalam, Jombang, menjalankan sebuah tradisi yang jauh lebih bermakna daripada sekadar memetik buah kopi. Kegiatan ini dimulai dengan prosesi bancakan — sebuah ritual penuh nilai spiritual dan kebersamaan yang mengandung doa serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi ini menjadi bukti bagaimana petani di daerah ini memaknai hasil bumi tidak hanya sebagai penghidupan, tetapi juga anugerah yang harus disyukuri dan dijaga kelestariannya.

Asmat, petani kopi berusia 60 tahun dari Dusun Mendiro, Desa Panglungan, adalah salah satu sosok yang setia melestarikan tradisi tersebut. Di tengah lahan perkebunan kopinya yang terletak di kawasan Hutan Mendiro, ia bersama para pekerjanya rutin mengadakan bancakan sebagai pembuka musim panen. Ritual ini menjadi momen sakral sekaligus ajang mempererat kebersamaan warga sekitar.

“Bancakan petik kopi ini merupakan simbol rasa syukur kami para petani kepada Allah atas hasil panen yang melimpah. Sekaligus memohon keselamatan dan keberkahan selama proses panen berlangsung,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Ritual bancakan itu diselenggarakan langsung di lokasi perkebunan, sebuah tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Hidangan utama berupa tumpeng kuning dan ingkung ayam kampung disiapkan secara khusus, masing-masing menyimpan makna filosofis yang mendalam. Tumpeng yang berwarna kuning mencolok melambangkan penghormatan kepada Sang Pencipta dan menjadi sesaji yang sakral. Sedangkan ingkung, yang secara harfiah berasal dari kata “ingsun” dan “menekung”, memiliki arti doa pribadi kepada Tuhan, dilambangkan dengan bentuk ayam yang dimasak menyerupai sosok orang yang sedang duduk berdoa.

“Asal kata ingkung itu berasal dari ingsun dan menekung, artinya aku berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Bentuk ayam yang dimasak ingkung itu mirip orang sedang duduk shalat, simbol bahwa manusia harus selalu berserah diri dan terhubung dengan Tuhan,” terang Asmat.

Setelah doa bersama diucapkan, hidangan bancakan pun disantap bersama-sama oleh para petani dan warga Dusun Mendiro. Tidak hanya sekadar makan bersama, momen ini menjadi sarana memperkuat ikatan sosial sekaligus meningkatkan rasa kebersamaan dan solidaritas antar warga.

Dalam setiap prosesi bancakan, selain memanjatkan doa untuk kelancaran dan keselamatan panen, Asmat dan para pekerjanya juga selalu menyelipkan harapan khusus agar hutan Wonosalam tetap lestari. Hal ini karena hutan tidak hanya menjadi tempat bertani dan bercocok tanam, melainkan juga sumber kehidupan dan keseimbangan ekosistem bagi masyarakat setempat.

“Kami mohon agar hutan ini tetap subur, lestari, dan terhindar dari tangan-tangan yang merusaknya. Karena hutan Wonosalam adalah sumber kehidupan bagi kami, warga Jombang,” tegas Asmat dengan penuh rasa cinta terhadap alam sekitarnya.

Ritual bancakan diawali dengan membawa satu tumpeng dari rumah Asmat ke lokasi perkebunan. Di sana, doa dan harapan dipanjatkan bersama sebelum para petani memulai kegiatan memetik kopi. Bancakan bukan sekadar ritual formalitas, melainkan sebuah simbol kebersamaan, rasa syukur, dan penghormatan pada alam yang memberikan hasil berharga.

Menjaga Tradisi di Tengah Perubahan Zaman

Di era modern seperti sekarang, tradisi seperti bancakan petik kopi sering kali tergerus oleh kemajuan teknologi dan gaya hidup yang lebih praktis. Namun, bagi petani di Wonosalam, tradisi ini tetap hidup dan menjadi perekat komunitas serta pengingat akan pentingnya hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Asmat dan para petani lainnya sadar bahwa hasil panen kopi yang melimpah bukan hanya berkat kerja keras semata, melainkan juga berkat berkah dan perlindungan dari Tuhan serta kelestarian alam sekitar. Oleh karena itu, ritual bancakan menjadi wujud nyata dari rasa hormat dan kesadaran spiritual yang mendalam.

Bancakan: Lebih dari Sekadar Ritual

Bancakan sebelum panen kopi di Wonosalam bukan hanya tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan juga sarana menjaga keseimbangan sosial dan ekologi. Melalui prosesi ini, para petani mengingatkan diri mereka sendiri dan generasi muda akan pentingnya menjaga kelestarian hutan serta menghargai anugerah alam.

Kehadiran hidangan khas seperti tumpeng dan ingkung membawa simbolisme yang kuat, tidak hanya sekadar makanan tetapi juga doa dan harapan yang diwakili dalam bentuk nyata. Ini menjadi pengikat nilai budaya dan spiritual yang membedakan tradisi petani kopi Wonosalam dengan komunitas lainnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index