JAKARTA - Ketika dunia makin larut dalam gemerlap layar gawai dan tontonan instan dari platform digital, masih ada ruang hening dan penuh magis yang bertahan di tengah masyarakat: pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di Tulungagung. Bukan sekadar hiburan biasa, tetapi sebuah peristiwa budaya yang menyatu dengan denyut kehidupan pedesaan dan menyatukan warga lintas generasi.
Di berbagai desa di Tulungagung, pertunjukan wayang kulit tetap digelar secara rutin, meskipun tidak sesering era keemasannya dulu. Di sinilah nilai dan kekuatan tradisi itu terlihat: bertahan tanpa gembar-gembor, tetapi selalu dinanti dan dirindukan.
Dari Balai Desa ke Pelataran Rumah: Menjaga Warisan Leluhur
Pertunjukan wayang kulit biasanya berlangsung di lapangan desa, halaman balai, atau pelataran rumah warga yang sedang punya hajat. Momen seperti ini menjadi titik kumpul warga dari berbagai dusun. Sejak sore hari, suasana persiapan mulai terasa. Tenda-tenda sederhana didirikan, layar putih dibentangkan, dan panggung kayu disusun untuk para pengrawit (penabuh gamelan) dan dalang yang akan menjadi pengisah malam.
Lampu petromaks menyala terang, menandai kehadiran malam istimewa di desa. Sinar kekuningan dari lampu tersebut menyinari layar putih yang akan menjadi panggung bayang-bayang kisah pewayangan. Nuansa magis pun menyelimuti udara pedesaan yang perlahan mulai dingin.
Tak hanya warga desa, sejumlah pengunjung dari luar daerah juga kerap hadir, menjadikan pertunjukan ini sebagai ajang silaturahmi dan nostalgia. Ada yang datang karena ingin memperkenalkan budaya ini kepada anak-anak mereka, ada pula yang hanya ingin merasakan kembali suasana malam kampung tempo dulu.
Irama Gamelan, Derai Tawa, dan Aroma Makanan Malam
Wayang kulit di Tulungagung bukan hanya tentang kisah Mahabharata atau Ramayana yang dimainkan oleh dalang. Ia adalah pengalaman menyeluruh yang menyentuh banyak indra.
Deretan gerobak pedagang makanan mulai berdatangan menjelang malam. Ada penjual cilok, sate ayam, nasi jagung, kacang rebus, hingga kopi hitam panas yang disajikan dalam gelas kaca. Aroma makanan khas ini bercampur dengan angin malam, menambah kenikmatan dalam menyaksikan pertunjukan.
Menjelang pukul delapan malam, suasana makin semarak. Warga duduk bersila di atas tikar, menyender di batang pohon, atau berdiri di pinggiran lapangan. Anak-anak berlarian ke sana kemari sebelum akhirnya lelap di pangkuan orang tua, diiringi suara gamelan yang menghentak dan kisah pewayangan yang mengalun.
Dalang: Jantung dari Setiap Pertunjukan
Sosok dalang menjadi pusat dari keseluruhan pertunjukan. Ia bukan hanya pencerita, tapi juga pengatur ritme, pengendali suasana, dan penyambung komunikasi antara masa lalu dan masa kini.
Dengan suara yang bisa berganti-ganti — dari lembut, parau, hingga lantang dan menggelegar — dalang menghadirkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Semar, dan Petruk menjadi hidup. Di antara adegan serius, dalang kerap menyisipkan humor khas Jawa yang spontan dan mengundang gelak tawa dari penonton.
Di sinilah letak keunikan pertunjukan wayang kulit: tidak kaku, tetapi cair dan menyatu dengan dinamika penonton. Setiap reaksi dari warga — baik tawa, tepuk tangan, atau gumaman — menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri.
Tradisi yang Menyatukan, Bukan Sekadar Nostalgia
Wayang kulit bukan sekadar produk budaya masa lalu. Di Tulungagung, ia tetap hadir sebagai ruang hidup yang menyatukan warga, menjadi pengikat antar generasi, dan pengingat akan nilai-nilai kebijaksanaan yang diwariskan leluhur.
Tak jarang, pertunjukan ini juga menjadi bagian dari ritual kepercayaan masyarakat setempat. Seperti dalam tradisi bersih desa, digelar wayang ruwat agung dengan lakon Murwakala sebagai bentuk tolak bala dan permohonan keselamatan.
Acara seperti ini menyatukan elemen budaya, spiritualitas, hingga hiburan dalam satu malam penuh makna.
Bertahan di Tengah Arus Modernisasi
Meskipun tekanan dari perubahan zaman begitu kuat, pertunjukan wayang kulit di Tulungagung tetap eksis. Meski tidak sepadat dulu, kehadirannya tetap dinanti. Bagi sebagian besar warga, menonton wayang kulit semalam suntuk adalah momen yang langka namun sangat berharga.
Menjelang subuh, sebagian penonton mulai meninggalkan lokasi, sementara yang lain bertahan hingga adegan terakhir. Suara ayam berkokok dan embun pagi menjadi penutup alami dari malam panjang penuh kisah. Mata boleh berat, tapi hati terasa hangat.
Magis yang Tak Lekang Waktu
Di era di mana konten digital datang silih berganti, keberadaan pertunjukan wayang kulit di Tulungagung menjadi pengingat bahwa tidak semua hal harus dikejar dalam kecepatan. Ada kalanya, duduk diam menikmati kisah kuno yang dimainkan dengan bayang-bayang dan gamelan, justru memberi kedalaman yang tak tergantikan.
Wayang kulit bukan hanya hiburan rakyat. Ia adalah narasi hidup yang menghidupkan malam, menyejukkan hati, dan meneguhkan identitas budaya kita. Dan selama masih ada warga yang mendengarkan dan tertawa bersama, selama itu pula nyawa wayang kulit tetap menyala.